“Mas, saya ingin memulai bisnis, tapi saya bukan orang terkenal. Gimana caranya supaya saya terkenal dan viral di media sosial?” tanya seorang peserta kelas di Clubhouse beberapa waktu lalu.
Pertanyaan itu ditujukan untuk pembicara yang merupakan seorang mega selebgram dan entrepreneur. Tetapi napas saya sebagai pendengar ikut berhenti sekitar 3 detik.
Sebentar, sebentar… Apakah sekarang kalau mau memulai bisnis harus terkenal dulu? Bukan lagi soal kualitas produk yang ditawarkan? Bukan lagi soal kelebihan produk? Bukan lagi soal daya beli dan kebutuhan pembeli? Bukan lagi soal harga dan solusi? Dan banyak pertimbangan dasar yang selama ini saya pahami? Apa jangan-jangan saya sudah tak paham zaman?
Di tengah pencarian jawaban, sebuah pesan WhatsApp datang. Ibu jatuh di kamar mandi. Pesan yang bikin kepala saya gelap seketika. Kota yang sedang ditutup karena pandemi tentu membuat persoalan semakin pelik. Rumah sakit dan dokter sedang sibuk merawat pasien yang terus berdatangan tanpa terlihat ujungnya.
Pesan itu memaksa saya segera mengunjungi rumah ibu setelah hampir setahun tak bisa berjumpa. Rumah ibu saya terletak di gang yang bisa dibilang 70% warga berjualan di depan rumahnya. Warung makan, toko kelontong, gerobakan, penjahit, salon, dan belakangan juga ada tahu goreng krispi. Jadi penasaran juga, apa kabar para pedagang rumahan itu di tengah pandemi?
Walau tak benderang seperti sebelumnya, tapi kesibukan masih terlihat. Masih ada yang jualan, masih ada yang beli. Masih ada anak-anak yang jajan tahu krispi. Masih ada penjahit yang sedang menggunting kain. Masih ada pedagang bakso dengan panci mengebul. Sepertinya hanya pemilik salon yang kelihatan sedang bengong.
Baca juga: Berbisnis atau Gak? Cek Kecocokanmu Sekarang
Di tengah waktu luang merawat ibu, saya mendatangi para pengusaha jalanan itu. Sebagian besar masih mengingat saya. Anak Cina berkulit putih, sedikit tambun, yang setiap pagi berjalan kaki ke sekolah.
Keakraban ini membuat saya mudah untuk memulai percakapan. Sambil berbelanja berbagai kebutuhan ibu, mulut saya terus mengorek info kondisi bisnis mereka.
Rata-rata penurunan memang mereka rasakan, terutama karena banyak warga yang dirumahkan. Namun, karena usaha mereka bersifat komunal dan kebutuhan pokok sehari-hari, pembelian terus berjalan.
“Uang masuk mah ada aja, tapi paling masalahnya suplai barang terganggu. Kalo gak ada barang, mau jual apa?” kata Pak Haji pemilik warung kelontong.
Hal yang senada juga disebutkan Muslim, pedagang aneka camilan. “Yang beli mah ada aja. Namanya anak-anak, kan pengenan jajan.”
Hampir semua pemilik usaha rumahan ini sudah ada sejak saya masih SD. Berarti, bisa dibilang bisnis yang mereka lakukan ini “sustainable”, istilah kekiniannya. Yang berarti, ada kebenaran yang mereka lakukan. Ada yang bisa kita pelajari untuk bisnis kita, kalau memang ingin memiliki bisnis bernapas panjang.
Sepuluhan tahun belakangan, kita dibombardir dengan istilah “viral”. Yang viral identik dengan yang berhasil, yang laris. Pengusaha dan pedagang makanan, skincare, baju, sepatu, sampai kerudung berupaya keras agar dagangannya viral.
Berbagai cara digunakan, dan tentunya yang dianggap paling efektif adalah dengan menggunakan endorser mega sampai nano. Salah? Tentu tidak. Terbukti kok, yang viral memang bisa menghasilkan cuan besar. Shining, shimmering, splendid. ✨
Di saat yang bersamaan, di gang dan jalan depan rumah kita, ada lebih banyak bisnis yang tak pernah viral, tapi tetap berjalan dan bertahan. Terus berputar dan bertahan dengan hasil yang dinilai pemiliknya cukup. Tingkat keberhasilan yang bukan viral, tapi personal. Sama-sama shining, shimmering, splendid. ✨
Paul Jarvis, penulis buku A Company of One, membuka pikiran saya. Pada intinya, Paul ingin menyampaikan bahwa tidak semua harus harus dibikin besar. Bahkan Paul mengatakan, di masa depan, bisnis yang dikelola perorangan dengan hasil yang dinilai cukup oleh pemiliknya akan lebih berdaya tahan.
Pemilik bisnis perorangan bisa menentukan sendiri sejauh apa usaha dan waktu yang ingin diinvestasikan. Dan selebihnya, waktu dan tenaga bisa digunakan untuk kebutuhan pribadi seperti mengurus anak, menikmati hari tua, dan sebagainya.
Baca juga: Mengelola Keuangan Lebih Baik dengan Memahami Psychology of Money
Pandemi yang sudah mulai terkendali sepertinya membuat banyak warga Jakarta mulai percaya diri untuk ngemal. Saya duduk di sebuah food court sambil makan dan memandangi booth makanan. Ada satu booth yang menarik perhatian karena dipenuhi dengan antrean pembeli dan ojol.
Laris manis, kontras dengan booth tetangga lainnya. Booth itu menjual roti srikaya. Dari jenamanya, sepertinya tidak pernah viral. Jarang juga dibahas di Twitter. Instagram-nya pun tak terlalu aktif dengan followers tidak impresif.
Kalau dilihat dari IG-nya, roti srikaya itu mulai aktif pada tahun 2018. Bisa jadi, bisnisnya sudah dimulai sebelumnya. Lalu saya ingat, di sekitar tahun yang sama muncul banyak artis yang juga jualan kue dan makanan. Sebut saja Syahrini, Nagita, Titi Kamal, Raffi Ahmad, dan masih banyak lagi.
Menggunakan ketenaran namanya, tentu bisnis makanan mereka melesat viral. Namun, ke mana bisnis mereka sekarang? Saya sudah tidak pernah mendengarnya lagi. Para artis itu pun tak lagi mempromosikan dagangannya.
Baca juga: Hindari 5 Kesalahan Finansial Ini Saat Berbisnis
Kalau disuruh memilih, maka saya akan lebih memilih bisnis yang bisa dikembangkan secara sustainable tanpa harus melulu viral. Bisnis yang bisa saya kerjakan sampai hari tua, agar tetap produktif dan menghasilkan (cuan).
Dengan pemahaman ini pula, MGKYM—jenama bisnis saya yang bergerak di bidang desain terapan, mulai merapikan tujuannya.
Promosi di media sosial tetap diperlukan. Tetapi tidak dengan sengaja agar viral. Lebih ke untuk menyampaikan pesan dan jiwa jenamanya. Salah satu contohnya, MGKYM bekerja sama dengan TikToker sanggar tari asal Bali ini.
Hasilnya cukup menggembirakan, walau tak viral. Dan itu tidak masalah karena konten ini dibuat bukan karena ingin viral, tapi karena sejarah MGKYM yang tak bisa terlepas dari pulau Bali.
Di sisi lain, banyak calon pembeli yang baru mengetahui dan kemudian berbelanja di toko Bali dan Tokopedia.com/MGKYM setelah terpapar video tersebut. Dengan biaya yang bisa dibilang jauh lebih rendah dari penggunaan mega influencer, hasilnya cukup menggembirakan.
Yang lebih menariknya lagi, penggunaan TikToker ini sempat jadi pembahasan di ruang meeting jenama-jenama internasional untuk dijadikan referensi.
Baca juga: Cara Pasang Iklan di Instagram Ads untuk Bisnis Tanpa Kartu Kredit
Ke depannya, MGKYM akan berupaya untuk menampilkan produk dengan cara yang lebih relevan dengan pembeli potensial. Kanal media sosial adalah sarana untuk menyampaikan maksud dan jiwa jenama, tanpa harus mengejar likes atau sensasi semata. Inovasi desain baru tak lagi melulu agar dipakai artis atau menang di media sosial, tapi menang di hati pembeli.
Di bidang bisnis saya, kehadiran desain baru adalah cara paling efektif untuk menjangkau calon konsumen. Karenanya, MGKYM akan terus bekerja sama dengan banyak usaha rumahan untuk melahirkan desain dan produk baru. Sesama usaha rumahan yang bekerja sama dan saling membantu akan menciptakan ekosistem bisnis yang mendukung kelanggengannya.
Baca juga: Bangun Potensi Bisnismu dengan Inovasi Akun Bisnis dan Bisniskit
Keragaman konsumen menjadi kiblat desain ke depan. Kebutuhan konsumen menjadi inspirasi terbesarnya. Saya belajar banyak dari pemilik bisnis di sepanjang gang rumah ibu saya. Mereka seolah mengingatkan bahwa bisnis yang berkelanjutan dan cukup menurut ukuran saya, adalah yang saya inginkan.
Artikel ini ditulis oleh Glenn Marsalim, teman Jenius yang merupakan seorang pebisnis dan pekerja kreatif di Jakarta. Cek artikel dari guest writer-guest writer lain pada laman Blog Jenius.
Ilustrasi pada artikel ini merupakan karya Tommy Chandra, teman Jenius yang merupakan freelance illustrator di Jakarta.